Senin, 26 Februari 2018

Hikmah dibalik Ujian

17.23 0 Comments
Beberapa hari kebelakang, saya mengalami beberapa ujian. Dimana saya merasa Allah sedang memperingati saya, bahwa dosa-dosa saya ini semakin hari semakin banyak. Banyak dosa yang perlu saya istighfari, bahkan saya masih harus terus men-istighfari-istighfar saya. 

Astaghfirullah waa atubu illaih... 

Astaghfirullah waa atubu illaih... 

Astaghfirullah waa atubu illaih... 

Singkat cerita malam jumat kemarin terjadi banjir yang cukup besar, dan mungkin ini lebih besar dari banjir-banjir yang biasa terjadi didaerah tempat tinggal saya. 

Dalam jarak beberapa jam, air naik dari tadinya sekedar mata kaki menjadi sepinggang Semakin lama air semakin meninggi.. barang-barang mengapung dan jatuh, termasuk kulkas, meja, tv, laptop dan komputer. 

Saya memilih tidak tinggal dirumah. Sambil berjalan diantara hujan dan lampu yang padam saya merasa sedih.. barang-barang, alat elektronik, buku2 yang saya kumpulkan sejak 2013 yang mana setiap bulannya saya mewajibkan diri saya untuk membeli buku.
Saya, tafakur bahwa memang benar tidak ada yang bisa saya bawa saat ingin mengungsi. Apalagi ketika saya mati, benar-benar yang saya bawa hanya amal yang sudah kita kumpulkan selama hidup. 

Baru juga banjir segini saya sudah mengeluhnya terus menerus, saya ga mikir bahwa banyak yang lebih dari saya kondisinya. Saya masih egois, saya memikirkan apa-apa yang membuat saya tidak nyaman. Tanpa berpikir orang lainpun sama2 merasakan ketidaknyamanan ini. 

Hari itu saya menjalani dengan benar-benar penuh tantangan, saya mencoba sabar, dan penuh semangat untuk memulai hari esok agar lebih semangat kembali. Saya melupakan apa yang saya rasakan kemarin. 

Hari ke-2 pasca banjir saya memilih mengeringkan terlebih dahulu laptop, berharap masih ada yg bisa saya pertahankan. Setelah itu saya kembali membersihkan kamar sata yang sudah mengeluarkan bau yang tidak enak sisa banjir. 

Saya membongkar ranjang tidur saya yang terbuat dr besi. Saya berdirikan dengan maksud agar lebih mudah saat di bersihkan. Saya mulai membersihkan.. tidak lama sejak itu tumpukan besi itu menimpa kepala saya, dan melukai tulang pipi saya sampai ke samping mata. Saya reflek memegang luka itu, dan yang saya rasakan luka itu dalam. Sontak saya menangis.

Melihat luka itu kakak saya langsung membawa saya ke Rumah Sakit terdekat. Saya masuk UGD. Saya panik, karna setelah dokter datang beliau mengatakan bahwa luka saya harus di jahit. 

Saya takut, tidak ada siapa-siapa di samping saya. Bahkan untuk saya pegang tangannya atau meminjamkan pundaknya. Kaka saya diluar, untuk mengurus admnisitrasi dan menghubungi ke 3 kakak saya yang lainnya. Saya melihat kekhawatiran dimata kaka saya. Saya semakin takut. 

Secara cepat saya di tangani, diberi obat bius  sampai 4x karna sama masih merasakan masih ada kontak di kulit saya. 

Kemudian diberikan alas bedah yang menutup mata saya. Saya ingat obrolan pelatih-pelatih di SSG, kuatkan dengan dzikrullah. Saya berdzikir, saya beristighfar, dan membacakan ayat favorit saya ( Q.S At taghabun : 11) Allah tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan hambanya. Dan ketika allah memberikan ujian maka keimanan kita di uji. Apakah benar kita masih mengimani Allah sebagai satu-satunya penolong. 

Saya menasihati hati saya, saya kembali membacakan surat Thaha dengan maksud supaya Allah memudahkan ketika luka saya di jahit. Saya berdoa agar tidak merasakan rasa sakit ketika proses dan setelahnya. 

Tidak lama kemudian prosesnya selesai dan saya merasakan rasa rakit yg lumayan sakit. Belum selesai itu saya kembali di suntik tetanus. Saya bertanya kepada perawat:
"Sus, ini berapa jahitan?"

Suster menjawab dengan nada lempang.. 
"10 jahitan luar dalam kalau tidak salah bu."

Selesai itu saya, melihat handphone dan melihat banyak panggilan tak terjawab dari mamah, ade dan ketiga kakak saya lainnya. 
Saya mendengan suara2 parau dibalik telepon-telepon mereka dengan cara khas mereka masing-masing. 

Saya merasa saya dididik untuk kuat dalam menghadapi apapun oleh kakak-kakak saya. Tapi ketika ini saya benar melihat sisi lain mereka. Terlepas dari itu saya jadi mensyukuri cara mereka menyayangi saya, menyayangi tanpa membuat saya nyaman tapi sayang yang membuat saya tumbuh. 

Selain hikmah itu saya menjadi semakin mensyukuri nikmat tubuh yang Allah titipkan, saya sekarang susah untuk berwudhu secara sempurna.. tapi teman-teman semua masih bisa untuk berwudhu secara sempurna. Jadi sempurnakan wudhu. 

Namu masih ada keresahan dalam hati saya, hingga akhirnya saya membicarakan kepada sahabat saya. 
"Aku jadi makin jelek, besok udah pasti muka saya makin benkak" 

Teman saya tertawa sambil mencoba menjawab: 
"Hey.. kamu kalo ngomong begitu berarti kamu menghina Allah." 

Saya kembali termenung..
Ada perasaan merasa tidak pantas, dan ada rasa ingin mundur. 

Astagfirullah... sudah saya bilang istighfar saya ini masih harus saya istighfari... 

😭😭😭😭

Rabu, 21 Februari 2018

Memperjuangkan Kebaikan!

20.24 0 Comments


“Belajar dan mempersiapkan adalah tentang bagaimana kita berjuang untuk menjadi orang yang beruntung, yaitu orang yang hari esoknya akan lebih baik dari hari kemarin.” 
– Kang Canun dan Teh Fufu

Jadi ditempat saya bekerja, saya sering berbincang dengan kedua rekan saya yang bisa dibilang mereka sudah cukup dewasa untuk saya ajak diskusi mengenai makna berjuang dan memperjuangkan.

Umur kita beda sampe 3 tahun, tapi percayalah umur bukan jaminan seseorang untuk memiliki pemikiran yang dewasa. Walaupun terkadang, mereka memang super duper kekanak-kanakan dalam menyikapi anatara masalah satu dengan masalah lainnya.

Pembicaraan kami dibuka setelah rekan saya bertanya,
“Teh, kenapa yah sekarang kalo liat di sosial media khususnya Instagram banyak banget yang suka ngomporin masalah biar cepet-cepet nikah?”

Pas denger pertanyaan itu saya berpikir sejenak,
“Hmmm... bisa jadi mereka (orang yang membuat konten) sedang berusaha memotivasi agar orang yang liat/baca jadi menyegerakan menikah!”

“Tapi kalau menurut sudut pandang teteh pribadi, konten itu terlalu berlebihan. Bukan sensitif atau kenapa-kenapa, tapi mereka sedikit kurang berempati kepada orang yang sedang berusaha memantaskan diri, menjaga niat agar tetap lurus, menjaga perasaan/pikiran yang bisa jadi melenceng karna postingan itu. Wallahu’allam.. ”

Satu rekan saya juga ikut berkomentar dengan sewotnya, sambil asyik main game BTS (FYI: BTS/Bang Tan Boy’s itu salah satu boyband korea).
“betul teh, mereka bukan sibuk memantaskan diri!!! Malah sibuk jadi kompor”

Saya kembali meluruskan...
“Sangat disayangkan memang. Tapi, kembali lagi kita gabisa maksa mereka buat mereka ga posting tentang menikah, pasangan idaman, baper sama laki-laki yang bahkan sudah berkeluarga, dll. Kuncinya kembali lagi ke diri kita yang membaca atau melihat, sebisa mungkin kita harus bisa memfilter apapun, lihatlah sesuatu baru berbagai sudut pandang supaya kita ngerti dan tidak menjudge orang lain berlebihan. Jadikan kompor-kompor itu untuk memotivasi diri kita untuk memperjuangkan kebaikan.”

Rekan saya yang sebelumnya bertanya, tertawa sambil berusaha nyenggol teman yang ada di sebelahnya.
Dia kembali bertanya..
“Terus, penting ga kita ikut seminar pranikah? Secara kan, sekarang makin banyak seminar-seminar pranikah. Terus yang ngisinya juga kebanyakan orang-orang yang baru menikah beberapa bulan?”

Saya tarik nafas agak panjang (perasaan tiap mau jawab tarik nafas panjang --___--“”)
“Pertanyaannya ga ada yang lebih gampang memang??”

“Kalo seminar pranikahnya sih ga ada salahnya Insyaa Allah... kembali lagi ke niat. Teteh juga kan sering yang kemarin-kemarin ikut seminar pranikah/ kuliah Whatsapp buat tahu tentang ilmu di pernikahan. Tapi jujur ya, selama ikut seminar pranikah bahasannya hampir semua sama. Mereka kebanyakan hanya menceritakan yang manis-manisnya saja, kalo di analogikan materinya itu sebuah lautan, maka materinya itu ibarat cuma permukaan lautnya aja. “

“Kemarin juga teteh bahas ini sama sodara teteh, bahas tentang manajemen rumah tangga. Ternyata ilmu pas diskusi itu bener-bener ga teteh dapetin pas teteh ikut seminar pranikah. Ilmunya mungkin sudah sampai ke isi lautnya. Oh iya... atau mungkin selama ini teteh ikut seminarnya, seminar abal-abal ya. Hee...”

“Tapi kalian nangkepnya jangan salah paham. Kalian harus tetap menyiapkan mulai dari ilmu. Karna semua kunci dalam manajemen  rumah tangga ada ilmunya. Kalian bisa dapetin dengan kalian meneriman pendidikan menikah/ Pra Nikah. Selain itu juga, investasi terbesar yang bisa kita berikan bagi kehidupan kita adalah belajar dan ilmu pengetahuan.

Rekan saya kembali bertanya dengan penuh penasaran...
“Jadi maksudnya bagaimana teh?”

Saya kembali menjawab..
“Yahh.. jadi kita itu sebenernya lebih tertarik dengan pengisi materinya ketimbang materinya. Kalo pengisinya artis, selebgram, dll.  kita semangetnya luar biasa. Tapi ketika pengisinya malah orang yang memang ahli dibidangnya, ya kita mah diem saja. Apalagi kalau kita disuruh berinvestasi.. hehe”

“Selain itu juga ada yang harus kita garis bawahi, apabila kita belajar tentang Pra Nikah, maka kita juga harus siap dengan materi di bab parenting/ pengasuhan pada anak.”

“Teteh juga jadi inget sama tulisan Ka Novie, yang menceritakan pertemuannya dengan Bunda Elly Risman. Yang mana saat itu bunda mengatakan kepada ka Novie “Nak, pastikan kamu kelak menikah dengan ilmu, ya. Jangan terburu-buru, jangan asal jatuh cinta” dan “Ayo dong anak muda melek pengasuhan!”.

“Setelah baca itu jujur, teteh ngerasa bersyukur karena Allah ternyata masih memberi kesempatan untuk bersiap dan belajar sebelum dipinang oleh amanah peradaban.”

Kedua rekan saya juga tersenyum lebar mendengar pernyataan itu.

Sebagai generasi milenials,. saat ini kita sedang menghadapi tantang besar, yaitu gap generasi dan perbedaan persepsi mengenai kesiapan mengasuh. Kebanyakan orang tua kita dulu membesarkan anaknya dengan ilmu seadanya, mereka berpikir bahwa dalam pengasuhan itu adalah hal yang natural bisa didapatkan seiring berjalannya waktu. Dampaknya, saat ini kita tidak tumbuh sebagai individu yang dipersiapkan untuk menjadi istri, suami bahkan orangtua. Padahal, perkembangan zaman dan situasi dunia saat ini menuntut kita untuk siap mengahadapi tantangan-tantangan dalam mengasuh anak sebagai mana pesan Ali bin Abi Thalib agar mendidik anak sesuai dengan zamannya.

Tidak pernah ada yang tahu apakah pengalaman pernikahan dan pengasuhan ini akan kita rasakan atau tidak, meskipun kita sudah belajar. Tapi, tidak ada yang salah dengan belajar dan mempersiapkan, bukan?

Semoga Allah memudahkan setiap niat baik dan mempertemukan dengan jalan-jalan terbaik.

Selamat memperjuangkan Kebaikan!!

Selasa, 20 Februari 2018

Salahkah Aku Mencintainya??

14.00 0 Comments

Esok, kita akan dijatuhkan dan ditinggikan. Hari ini, kita sedang menjalani sebuah proses dimana jatuh dalam banyak hal di hidup kita adalah hal yang paling berat untuk kita rasakan. Jatuh dari harapan, jatuh dari impian, termasuk jatuh cinta. - Kurniawan Gunadi


Kemarin sore bertemu dengan sahabat saya, kami memang sudah merencanakan pertemuan ini karena katanya ada yang mau di ceritakan. Sudah lama kita memang tidak bertemu, bisa dibilang ada mungkin sampe 1 bulan lebih. Kita susah ketemu berhubung bedanya jadwal libur, dan kesediaanya waktu kita untuk bertemu. Dan persahabatan kita tuh bukan sahabat yang kaya persahabatan orang lain gitu... yang kontekan setiap hari, ketemu tiap minggu apalagi sambil nongkrong-nongkrong cantik. 

Dia membuka pembicaraan 
" Ghin, salah ga sih, perasaan aku kaya gini?" 

Saya tetap diam tak bergeming, sebagai tanda mempersilahkan sahabat saya untuk terus bercerita.

"Setelah beberapa hari kemarin, aku ngerasain hal yang beda dengan perasaanku. Aku ngerasa kalo perasaan aku selama ini itu ga berbalas. Tapi dalam hati selalu yakin dengan perasaan aku yang tidak seharusnya aku turuti ini"

Saya sedikit berkomentar "Prasangka kamu selama akhir-akhir ini itu memang sudah kamu tanyain ke orangnya belum? Kalau kamu yakin kenapa kamu tidak meyakini apa yang kamu yakini?" 

"Udah Ghin, dia juga udah jawab. Aku memang salah dengan prasangka yang aku buat selama ini. Dia ngerti maksud aku, dan aku juga merasakan satu hal yang aku harapkan itu juga terbalas. Cuma, sedikit kecewa diakhir kata dia bilang untuk saat ini  dia ga punya komitmen bahkan dengan orang lain"

Belum saya komentari sahabat saya ini langsung nyambar, menambah komentarnya sendiri. 

"Pas aku tanyain dia nanggepinnya bener-bener ga ada seriusnya sama sekali. Aku kesel dong... Dia berlagak secuek itu" 

Saya tarik nafas panjang berharap saya ga salah ketika mengomentari ini, karna ini berhubungan dengan H-A-T-I (perasaan). Masa dong saat ada yang cerita sedih, terus kita nanggepinnya salah dan buat dia juga tambah sedih.  

"Kalau memang bener ga ada komitmen, kenapa harus di pertahanin?" 

"Kita gabisa terus sedih dengan keputusan orang lain, dan sebenernya kalo kita open minded atau kita menemukan sudut pandang yang baru. Kita bakal menemukan cara pikir yang lain. Kita gabisa nyalahin siapa-siapa karena keputusan ketidak siapannya." 

Pas di bahasan ini karena bahasannya tentang komitmen jadi agak panjang.  

Saya menganalogikan ketika saya berada di posisinya sama.

"Satu yang Saya yakinin, Saya ga berharap untuk saat ini ada yang mau berkomitmen seperti itu ke Saya. Bukan apa-apa, kemarin kan kita tau sendiri kenapa. Tapi, dari situ saya belajar. Bahwa target yang saya buat hanya akan menjadi sebuah target, bukan menjadi sebuah obsesi. Kalaupun melenceng saya pikir masih ada waktu untuk menarik kembali target itu dan memasang target itu kembali."

"Dan juga saya  tidak mau berharap ada yang datang dengan komitmen tapi memang keadaannya belum benar-benar siap. Siap disini berati siap sepenuhnya beserta tanggung jawabnya, siap dan cukup berani mengambil setiap resiko. Saya gamau kalau ini menjadi kecondongan pada keinginan berkomitmen tanpa diiringi pikiran yang jernih" 

 "I don't want to be someone who can not see the good side on the other side. who will always complain about what others do, but not aware that I have not done anything yet."

"Terus menanggapi sikapnya yang cuek, kita kembalikan dengan fitrahnya laki-laki yang selalu langsung mencari solusi ketika mendapat masalah, yang berbeda dengan perempuan ketika punya masalah maka di dipikirkan itu prosesnya. Kalau di ibaratkan laki seperti obatnyamuk itu muternya kedalem, kalo perempuan muternya keluar. Makanya harus ada salah satu yang menurunkan egonya"

Sahabatku menghela nafasnya, dan diam sejenak. 

Kemudian kembali bercerita. 
"Kamu tau ga, di tempat kerjanya dia baik sama perempuan yang lainnya yang ada di sekitaran tempat kerjanya. Aku juga sempet kesel sendiri."

Saya langsung nyambar
"Hei.. tau ga ada yang harus kita siapkan setiap kita menghadapi setiap masalah?"

Sahabat saya langsung menjawab
"Sabar... ikhlas... " 

"Nah itu tau, ada yang harus di besarkan yaitu hati... Ada yang harus di rendahkan namanya Ego
"Intinya ketika kita mencintai orang baik, maka kita juga harus siap menerima bahwa orang baik itu disukai banyak orang termasuk perempuan." Jawab Saya. 

Sahabat saya langsung bertanya lagi dengan semangat. 
"Jadi, Aku salah ga mencintainya? tapi selama aku meminta petunjuk Allah, aku merasa Allah terus menunjukan dia yang terbaik. Dan Allah selalu meluruskan hambanya yang salah. Tapi aku masih di satu pilihan ini."

Saya menerik kembali nafas berharap tidak salah ketika menanggapi. 
"Wallahu'allam itu salah atau benar, Saya bener ga ada hak untuk menjudge kalau ini salah dan itu benar. Cuman, satu yang mungkin bisa jadi hilang, itu "keberkahannya". Setiap selesai sholat, bukannya kita selalu berharap diberikah keberkahan tiap harinya. Tapi kita juga jadi melupakan makna keberkahan itu sendiri karna perbuatan kita sendiri." 

Setelah menyelesaikan percakapan terakhir kami ketawa-ketawa dan ngerasa ada bunyi kruyuk-kruyuk di perut. 


That's the keys, my friend, ketika semua nasihat dari siapapun ditujukan kepada kita, tapi kita tidak bisa menerimanya nnilainya akan tetap sama = kosong. Tapi berbeda, ketika diri kita sendiri yang bersedia merubahnya walaupun hanya dengan setitik nasihat maka itu akan berubah. Karena yang sanggup memotivasi diri kita adalah diri kita sendiri. 

Wallahu'allam bisawab. 

Senin, 19 Februari 2018

On Being Introvert

13.16 0 Comments
 "No random actions, none not based on underlying principles."
Neil Degrasse Tyson

 

 Hei.. Saya ini ternyata seorang Introvert. 
Mungkin diantara kalian yang  deket dan sangat deket pasti merasa aneh. Ya.. karna saya termasuk orang yang cukup aktif dan sangat terbiasa berinterasi dengan orang lain bahkan stranger sekalipun, yang intinya Saya ga punya kesulitan apapun ketika berinteraksi dengan orang lain. 
Pertama, Saya akan kasih tau padahal ga penting juga, heee kalo Saya ini bukan seorang ambivert. Karna faktanya saya masih ngerasa nyaman ada dirumah sendirian, berhari-hari, tanpa keluar rumah pula. Saya juga masih  males telfonan lebih dari 5 menit, apalagi kalo posisinya saya yang di telfon. (tapi kalo telfonan sama mama sih ga segitunya). Dan kalo lagi di rumah (di Majalaya atau di Garut) saya lebih suka diem dikamar sendiri, kalo lagi ngumpul trus kumpulannya agak bersifat receh, saya lebih milih di rumah/kamar sendiri. 

Saya INFJ female, untuk info aja sih INFJ itu adalah sebuah kepribadian dimana presentasenya cuman ada 1% diantara populasi yang ada. Wkwkwk.. Saya golongan manusia langka. I'm Introvert,  the most extrovert among introvert. Temen saya banyak, tapi saya hanya bisa klop dengan beberapa orang saja ketika ngobrol. Saya suka dateng ke acara yang banyak orang, tp saya tetep ga risih selama ada manfaatnya.
Tp mindset yang beda antara Saya sama temen yang extrovert juga kadang lucu.
Kayak pas lagi pengen ikut ke acara/ kajian/ seminar yang waktunya bisa dibilang padet tapi ketika ngajak temen trus temennya bilang gabisa karena A, B, C, dan D. Yaudah saya milih pergi aja sendiri, trus temen saya ngerasa kasian karna saya berangkat sendiri. Dan langsung bilang:
"Jangan selalu pergi sendiri. Bahaya tau.. "
"Saya, beneran ga malah ketika harus pergi sendiri, kalo sendiri saya bisa agak bebas tanpa takut orang lain cape karna ngikutin Saya yang kadang harus ke beberapa tempat dalam sehari demi semua schedule saya tetep terlaksana. Lain kali, kalo agenda kegiatannya ga banyak, saya ajakin deh. "  

I love being alone, sometimes.

I've never seen myself fit in any circle. Lingkaran pertemanan terbaik saya hanya dengan 3 orang sahabat saat SMA, dan rekan-rekan di SSG. Saya ngerasa terbaik, karna bebas dari drama, bebas dari haha-hihi dan nongkrong cantik, dan terpenting bebas pretentious and superficial. Karna mereka bisa buat realest version my life, kalo kita ngobrol ga ada obrolan yang ga bisa nambah pinter, selalu ada obrolan bermanfaat, berfaedah, selalu ada obrolan yang bikin saya untuk bertumbuh dan ga ada obrolan yang isinya cuman ngomongin orang lain (gibah). Tapi pernah juga saya gabung di lingkaran pertemanan yan mana isinya cuman haha-hihi ga jelas, ngomongin orang, ga ada maknanya = kosong, dan bikin bosen (ASLI). Setelah masuk ke lingkaran itu, seriously saya jadi ngerasa males ikut lagi kegiatan A, B, C karna ngerasa kapok ketemu lagi dengan lingkaran pertemanan seperti itu. 

Terus akhirnya saya ngerasa bosen diem terus di kandang, tanpa ada tingkat kebermanfaatan lagi yang saya bisa kembangkan. Mungkin untuk menghilangkan kebosanan ini, saya harus kembali terbuka lagi untuk orang lain. Dan ketemu lah dengan lingkaran pertemanan yang baru, dan saya kembali bersemangat untuk bersosialisasi. Yeaaayyy... 
Akhirnya memutuskan buat jalan sendiri kalo pergi kemana-mana itu punya kesempatan lebih buat kenalan sama orang lain, ketemu orang baru. Semakin kesini saya jadi bisa nge-switch kapan harus introvert kapan harus out-going. 

Tapi ada juga yang harus digaris bawahi kalau seorang introvert itu bukan berati anti sosial. Saya hanya butuh waktu sendiri. Me time kadang emang jadi hal krusial buat seorang Introvert. Bukan stereotyping atau generalisasi. Cuman dari banyak banget orang introvert yang Saya kenal termasuk saya sendiri, kadang kami cuman butuh waktu sendiri dan menikmati dunia kami sendiri.

Anyways, kalo ngeliat saya nyaman ngobrol dan bergaul bahkan tiba-tiba curhat dengan orang lain. itu berati saya sedang bersama orang yang TEPAT.