Beberapa hari kebelakang, saya mengalami beberapa ujian. Dimana saya merasa Allah sedang memperingati saya, bahwa dosa-dosa saya ini semakin hari semakin banyak. Banyak dosa yang perlu saya istighfari, bahkan saya masih harus terus men-istighfari-istighfar saya.
Astaghfirullah waa atubu illaih...
Astaghfirullah waa atubu illaih...
Astaghfirullah waa atubu illaih...
Singkat cerita malam jumat kemarin terjadi banjir yang cukup besar, dan mungkin ini lebih besar dari banjir-banjir yang biasa terjadi didaerah tempat tinggal saya.
Dalam jarak beberapa jam, air naik dari tadinya sekedar mata kaki menjadi sepinggang Semakin lama air semakin meninggi.. barang-barang mengapung dan jatuh, termasuk kulkas, meja, tv, laptop dan komputer.
Saya memilih tidak tinggal dirumah. Sambil berjalan diantara hujan dan lampu yang padam saya merasa sedih.. barang-barang, alat elektronik, buku2 yang saya kumpulkan sejak 2013 yang mana setiap bulannya saya mewajibkan diri saya untuk membeli buku.
Saya, tafakur bahwa memang benar tidak ada yang bisa saya bawa saat ingin mengungsi. Apalagi ketika saya mati, benar-benar yang saya bawa hanya amal yang sudah kita kumpulkan selama hidup.
Baru juga banjir segini saya sudah mengeluhnya terus menerus, saya ga mikir bahwa banyak yang lebih dari saya kondisinya. Saya masih egois, saya memikirkan apa-apa yang membuat saya tidak nyaman. Tanpa berpikir orang lainpun sama2 merasakan ketidaknyamanan ini.
Hari itu saya menjalani dengan benar-benar penuh tantangan, saya mencoba sabar, dan penuh semangat untuk memulai hari esok agar lebih semangat kembali. Saya melupakan apa yang saya rasakan kemarin.
Hari ke-2 pasca banjir saya memilih mengeringkan terlebih dahulu laptop, berharap masih ada yg bisa saya pertahankan. Setelah itu saya kembali membersihkan kamar sata yang sudah mengeluarkan bau yang tidak enak sisa banjir.
Saya membongkar ranjang tidur saya yang terbuat dr besi. Saya berdirikan dengan maksud agar lebih mudah saat di bersihkan. Saya mulai membersihkan.. tidak lama sejak itu tumpukan besi itu menimpa kepala saya, dan melukai tulang pipi saya sampai ke samping mata. Saya reflek memegang luka itu, dan yang saya rasakan luka itu dalam. Sontak saya menangis.
Melihat luka itu kakak saya langsung membawa saya ke Rumah Sakit terdekat. Saya masuk UGD. Saya panik, karna setelah dokter datang beliau mengatakan bahwa luka saya harus di jahit.
Saya takut, tidak ada siapa-siapa di samping saya. Bahkan untuk saya pegang tangannya atau meminjamkan pundaknya. Kaka saya diluar, untuk mengurus admnisitrasi dan menghubungi ke 3 kakak saya yang lainnya. Saya melihat kekhawatiran dimata kaka saya. Saya semakin takut.
Secara cepat saya di tangani, diberi obat bius sampai 4x karna sama masih merasakan masih ada kontak di kulit saya.
Kemudian diberikan alas bedah yang menutup mata saya. Saya ingat obrolan pelatih-pelatih di SSG, kuatkan dengan dzikrullah. Saya berdzikir, saya beristighfar, dan membacakan ayat favorit saya ( Q.S At taghabun : 11) Allah tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan hambanya. Dan ketika allah memberikan ujian maka keimanan kita di uji. Apakah benar kita masih mengimani Allah sebagai satu-satunya penolong.
Saya menasihati hati saya, saya kembali membacakan surat Thaha dengan maksud supaya Allah memudahkan ketika luka saya di jahit. Saya berdoa agar tidak merasakan rasa sakit ketika proses dan setelahnya.
Tidak lama kemudian prosesnya selesai dan saya merasakan rasa rakit yg lumayan sakit. Belum selesai itu saya kembali di suntik tetanus. Saya bertanya kepada perawat:
"Sus, ini berapa jahitan?"
Suster menjawab dengan nada lempang..
"10 jahitan luar dalam kalau tidak salah bu."
Selesai itu saya, melihat handphone dan melihat banyak panggilan tak terjawab dari mamah, ade dan ketiga kakak saya lainnya.
Saya mendengan suara2 parau dibalik telepon-telepon mereka dengan cara khas mereka masing-masing.
Saya merasa saya dididik untuk kuat dalam menghadapi apapun oleh kakak-kakak saya. Tapi ketika ini saya benar melihat sisi lain mereka. Terlepas dari itu saya jadi mensyukuri cara mereka menyayangi saya, menyayangi tanpa membuat saya nyaman tapi sayang yang membuat saya tumbuh.
Selain hikmah itu saya menjadi semakin mensyukuri nikmat tubuh yang Allah titipkan, saya sekarang susah untuk berwudhu secara sempurna.. tapi teman-teman semua masih bisa untuk berwudhu secara sempurna. Jadi sempurnakan wudhu.
Namu masih ada keresahan dalam hati saya, hingga akhirnya saya membicarakan kepada sahabat saya.
"Aku jadi makin jelek, besok udah pasti muka saya makin benkak"
Teman saya tertawa sambil mencoba menjawab:
"Hey.. kamu kalo ngomong begitu berarti kamu menghina Allah."
Saya kembali termenung..
Ada perasaan merasa tidak pantas, dan ada rasa ingin mundur.
Astagfirullah... sudah saya bilang istighfar saya ini masih harus saya istighfari...
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜


